? Bintaro, Tangerang Selatan
Negara, Motor Penggerak atau Wasit dalam Ekonomi Pembangunan?

Pada kuartal II 2025, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan 5,12% (secara tahunan) tertinggi sejak Q2 2023. Lonjakan ini didorong oleh investasi yang menguat dan belanja rumah tangga yang stabil, meski prospek ke depan masih dibayangi ketidakpastian global. Tantangan geopolitik, gejolak harga komoditas, serta ancaman perubahan iklim tetap menjadi faktor yang harus diwaspadai.

Situasi ini kembali memunculkan perdebatan lama, sejauh mana negara perlu hadir dalam mengarahkan perekonomian? Apakah pemerintah sebaiknya menjadi motor penggerak yang mendorong pembangunan secara aktif, atau cukup berperan sebagai wasit yang memastikan jalannya kompetisi tetap adil?

Negara sebagai Motor Penggerak

Bagi banyak pihak, negara yang proaktif adalah syarat penting bagi kemajuan. Peran ini menempatkan pemerintah sebagai pihak yang mengambil inisiatif melalui investasi strategis, pengembangan infrastruktur, dan program-program yang mempercepat transformasi ekonomi.

Kita melihat peran ini pada pembangunan jalan tol Trans Jawa, jaringan kereta cepat, dan hilirisasi nikel di Sulawesi serta Maluku. Proyek-proyek tersebut memperlihatkan keberanian negara mengisi kekosongan pasar yang belum menarik minat sektor swasta. Pemerintah menggelontorkan subsidi, memberikan insentif pajak, dan menjalankan program padat karya untuk membuka lapangan kerja dan memperkuat daya beli masyarakat.

Namun, pendekatan ini tidak bebas dari risiko. Keterlibatan yang terlalu besar dapat menimbulkan ketergantungan pada peran negara, memperlambat inovasi, dan mengurangi fleksibilitas pelaku usaha. Karena itu, intervensi perlu dirancang dengan batasan yang jelas dan tujuan yang terukur.Pendekatan ini cocok untuk negara berkembang yang sedang mengejar ketertinggalan infrastruktur atau teknologi. Sebagai contoh, pembangunan jalan tol Trans Jawa dan percepatan hilirisasi nikel adalah bentuk nyata intervensi negara yang mendorong transformasi ekonomi.

Gambar Jalan Tol Trans Jawa (Sumber: Kompas)

Negara sebagai Wasit

Pendekatan lain menempatkan negara sebagai pengatur yang berdiri di luar arena permainan ekonomi. Tugas utamanya adalah :

  • Menegakkan hukum dan kontrak.
  • Mengawasi praktik monopoli.
  • Menjaga stabilitas makroekonomi.
  • Menciptakan iklim usaha yang kondusif.

Di negara maju, model ini berjalan baik karena infrastruktur sudah mapan, sektor swasta kuat, dan sistem hukum terpercaya. Pemerintah hanya mengintervensi ketika pasar gagal menjalankan fungsinya. Keunggulan pendekatan ini adalah fleksibilitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk berinovasi dan beradaptasi dengan cepat.

Namun, di negara seperti Indonesia yang masih membangun fondasi ekonomi, peran pasif ini berpotensi menimbulkan kesenjangan. Sektor strategis bisa dikuasai pihak-pihak yang tidak selaras dengan kepentingan nasional jika negara terlalu sedikit campur tangan.

Tantangan Indonesia 2025

Indonesia saat ini berada pada fase yang menentukan arah pembangunannya. Pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan tol, pelabuhan, dan jaringan transportasi massal belum sepenuhnya merata. Di wilayah timur Indonesia, biaya logistik masih tinggi, menghambat daya saing produk lokal di pasar nasional maupun internasional.

Selain itu, daya saing industri nasional masih berhadapan dengan tantangan dari globalisasi. Industri manufaktur harus bersaing dengan produk impor berbiaya rendah, sementara sektor UMKM perlu adaptasi cepat terhadap perubahan teknologi dan perilaku konsumen. Transformasi digital menjadi peluang sekaligus ujian. Potensi ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai ratusan miliar dolar pada dekade mendatang, tetapi pencapaian itu hanya mungkin jika pemerintah dan swasta mampu menyediakan infrastruktur digital yang inklusif, literasi teknologi yang merata, serta kebijakan yang mendorong inovasi tanpa membebani pelaku usaha.

Dalam situasi ini, negara perlu memainkan peran yang lentur. Di satu sisi, percepatan pembangunan membutuhkan campur tangan pemerintah dalam bentuk investasi strategis, penguatan kapasitas SDM, dan perlindungan bagi sektor-sektor yang rentan. Di sisi lain, sektor swasta perlu diberi ruang untuk berinovasi, bereksperimen, dan mengambil risiko tanpa terhambat birokrasi yang berlebihan.

Konteks global menambah lapisan kerumitan. Ketegangan geopolitik dapat mengganggu rantai pasok, fluktuasi harga energi mempengaruhi inflasi, dan kebijakan perdagangan negara lain bisa membatasi akses pasar ekspor. Dalam situasi seperti ini, strategi tunggal tidak akan cukup. Negara harus memadukan dua peran sekaligus, menyesuaikan intensitasnya sesuai kebutuhan setiap sektor.

Sebagai motor di sektor yang strategis dan belum layak secara komersial. Contohnya adalah pembangunan pembangkit listrik di daerah terpencil atau investasi awal pada teknologi energi terbarukan yang belum menarik bagi investor swasta.

Sebagai wasit di sektor yang sudah matang, seperti telekomunikasi atau industri jasa keuangan, untuk memastikan persaingan sehat, mencegah monopoli, dan menjaga konsumen tetap terlindungi.

Pendekatan ganda ini menuntut kecermatan dan kecepatan respons. Tidak semua keputusan bisa diambil dengan logika “satu kebijakan untuk semua sektor”. Pemerintah perlu memahami dinamika masing-masing industri, mendengar masukan pelaku usaha, dan membaca tren global untuk menentukan kapan harus menginjak pedal gas, dan kapan harus cukup memantau jalannya permainan.

Menuju Ekonomi Pembangunan yang Berkelanjutan

Keseimbangan peran memerlukan visi jangka panjang yang jelas, kebijakan yang konsisten, dan komitmen terhadap transparansi. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Mendorong kemitraan publik-swasta (public-private partnership) untuk membagi risiko dan manfaat pembangunan.
  • Memperkuat lembaga pengawas dan penegak hukum agar regulasi dapat dijalankan secara efektif.
  • Menjamin akuntabilitas dalam setiap program pembangunan untuk menjaga kepercayaan publik.

Pertumbuhan 5,12% di kuartal II 2025 menjadi modal penting. Dengan kebijakan yang tepat, momentum ini bisa menjadi pijakan untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif dan tahan terhadap gejolak.

Ke depan, perdebatan tentang peran negara tidak lagi sebatas memilih salah satu. Tantangannya adalah merancang peran yang lentur, mampu menyesuaikan diri dengan dinamika pasar, namun tetap menjaga kepentingan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *